TELAGA: KONFLIK DALAM KELUARGA
Dua pribadi yang berbeda -- suami
dan istri, masing-masing memiliki cara hidup yang berbeda. Oleh karena
itu, satu sama lain harus beradaptasi. Hal sekecil apa pun bisa menjadi
konflik bila masing-masing pribadi tidak bisa menyesuaikan diri.
Faktor
penyebab paling umum yang menimbulkan pertengkaran di dalam keluarga
adalah kesulitan beradaptasi dengan perbedaan. Kita memiliki cara atau
gaya hidup tertentu. Nah, sewaktu hidup serumah dengan pasangan kita,
berarti kita harus siap untuk beradaptasi. Adaptasi artinya berani
memeriksa diri, mengintrospeksi kelemahan masing-masing, dan akhirnya
berani untuk mengubah diri. Kecenderungan banyak pasangan yang menikah
adalah tidak mencari bantuan terhadap masalahnya, sampai masalah itu
berkembang semakin serius. Bahkan, Marcia Lasswell dalam bukunya, "No
Fault Marriage", mengatakan bahwa rata-rata pasangan menikah datang
mencari pertolongan kepada konselor setelah mengalami persoalan
pernikahan kira-kira sekitar 7 tahun. Problem itu ditumpuk selama 7
tahun, dan akhirnya tak bisa dikendalikan lagi. Setelah itu, baru dibawa
kepada orang lain untuk mendapatkan bantuan.
Penyebab orang tidak segera mencari bantuan terhadap masalahnya, antara lain:
-
Budaya kita adalah budaya yang dipenuhi dengan rasa malu sehingga kita
cenderung menutup diri. Kita mempunyai anggapan bahwa tidak baik
membicarakan masalah rumah tangga dengan orang lain.
- Adanya anggapan bahwa menceritakan kejelekan pasangan kita itu berarti memberitakan kejelekan kita sendiri.
- Kita berpikir kalau kita menceritakan masalah pasangan kita, kita sedang berkhianat.
- Dan, alasan yang paling mendasar adalah kita termasuk tipe orang yang tidak begitu menyukai perubahan.
Di bawah ini ada beberapa pandangan tentang bagaimana menyelesaikan masalah.
1.
Menguasai/mendominasi. Mendominasi atau menguasai secara paksa akan
membuat suasana pernikahan "tenteram". Dan, tenteram ini bersifat semu
atau sementara. (Cara ini tidak dianjurkan.)
2. Menghindar. Cara
ini tidak sehat karena kita hanya menunda membicarakan dan menyelesaikan
masalah, dan kita mengalihkan perhatian kepada hal-hal lain.
3.
Menuruti/mengikuti kemauan pasangan kita. Ini pun tidak sehat, sebab
waktu kita menuruti atau mengikuti kemauan pasangan kita, itu berarti
kita harus menguasai atau mengekang keinginan kita.
4. Kompromi.
Kita dan pasangan kita masing-masing mengurangi tindakan kita atau
tuntutan kita supaya akhirnya dapat mencapai titik temu. Cara inilah
yang boleh kita gunakan dalam situasi konflik yang sudah rumit sekali.
5. Bekerja sama, yaitu kedua belah pihak berusaha memenuhi kebutuhan masing-masing/memikirkan solusinya.
Untuk bisa bekerja sama, lakukanlah langkah-langkah berikut ini:
- Harus mengakui adanya konflik.
- Mengomunikasikan dan mengakui kebutuhan atau keinginan kita masing-masing, apa yang diinginkan itu yang perlu disampaikan.
- Memikirkan alternatif penyelesaian dan dampak terhadap masing-masing pihak.
- Mulai memilih alternatif yang memenuhi keinginan masing-masing pihak.
- Melaksanakannya.
Mazmur
18:21-23 berkata, "Tuhan memperlakukan aku sesuai dengan kebenaranku,
Ia membalas kepadaku sesuai dengan kesucian tanganku, sebab aku tetap
mengikuti jalan Tuhan dan tidak berlaku fasik terhadap Allahku. Sebab
segala hukum-Nya kuperhatikan, dan ketetapan-Nya tidaklah kujauhkan dari
padaku."
Kita bisa menggunakan banyak cara untuk menyelesaikan
konflik, tetapi intinya kita harus selalu bertanya apakah kita telah
mengikuti jalan Tuhan. Sewaktu kita mengikuti jalan Tuhan, Tuhan akan
memberikan yang kita minta.
Diambil dan disunting dari:
Nama situs: TELAGA
Alamat URL: http://www.telaga.org/audio/konflik_dalam_keluarga_1
Judul transkrip: Konflik dalam Keluarga 1 (T002B)
Penulis: Pdt. Dr. Paul Gunadi
Tanggal akses: 16 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar