Sabtu, 19 Juni 2010
SAUDARA SEIMAN?
SAUDARA SEIMAN?
Kala kumendengar saudara seiman di dalam Tuhan dan mempelajari arti saudara di dalam Tuhan, bagaimana mereka hidup bersama sebagai keluarga Allah dalam Kisah Para Rasul dan kitab-kitab lainnya atau bahkan saat membaca Kitab Taurat bagaimana umat Israel selayaknya hidup bersama. Begitu indah dan dasyat. Tapi apakah itu semua hanya mimpi atau sejarah belaka yang kini hanyalah menjadi cerita dongeng pengantar tidur? Entahlah…….aku memiliki impian tersebut…..sebab seharusnya ikatan persaudaraan kita di dalam Kristus jauh lebih kuat daripada persaudaraan di luar Tuhan. Itulah yang membuat dunia takjub dengan pengikut Kristus hingga jemaat di Anthiokia untuk pertama kalinya disebut orang Kristen (Pengikut/imitator Kristus). Dunia tergoncang melihat kasih yang tulus seorang dengan yang lain. Orang Kristen mula-mula memiliki belaskasihan yang sangat besar.
Namun faktanya aku merasa ikatan persaudaraan kami dulu di geng yang “pasti tanpa Tuhan”, jauh lebih kuat daripada saat kuberada di dalam tubuh Kristus. Ketika seorang diantara kami berurusan dengan polisi dan masuk penjara setiap jam bezoek pasti ada salah satu anggota yang datang dan membawa kebutuhan kami, saat kami masuk rumah sakit ada saja yang membezoek, saat kami disakiti yang lain membela – meski seringkali yang dibela justru pada posisi yang salah, saat yang seorang tak memiliki tempat berteduh yang lain membuka kamar atau rumahnya agar bisa tinggal bersama, bahkan kami siap mati bagi saudara se-geng kami dstnya. Iblis memutarbalikkan cara hidup jemaat mula-mula bahkan perintah Tuhan.
Kisah Para Rasul 2:44-47 Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.
Mat 25:34-40 Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Kekristenan dewasa ini sudah mengkristal menjadi sekedar sebuah agama dan penekanan pada keintiman dengan Tuhan sudah mulai luntur. Berulangkali kudengar dalam khotbah para pendeta mengucapkan “Christianity is not a religion but a relation”(Kekristenan bukanlah agama tetapi hubungan), tapi khotbah akan sekedar menjadi sebuah khotbah bilamana sang pengkhotbah pun tak berubah untuk menghidupinya. Jemaat Tuhan membutuhkan teladan dan bukan sekedar pengajar yang cakap berbicara. Kecakapan dalam berkhotbah dan mengajar itu baik dan perlu tetapi semua menjadi tak berarti bila sang pengkhotbah tidak menghidupi apa yang ia sampaikan dalam kesehariannya. Apalagi bila ada yang berdalih bahwa khotbah yang disampaikan adalah untuk jemaat dan bukan bagi dirinya pribadi. Menyedihkan sekali.
Apa yang kulihat dewasa ini, banyak pengkhotbah hidup mewah. Hidup mewah tak salah dan berdosa selama ia mengingat rekan sejawatnya, para kaum Lewi dan jemaat berkekurangan yang ia gembalakan dengan berbagi apa yang ia miliki. Tetapi bila sang pengkhotbah hanya memperbesar perbendaharaan hartanya belaka, apa kata Tuhan? Bukankah Alkitab mencatatkan hal ini:
2 Korintus 8:12-15 Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu. Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan. Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan. Seperti ada tertulis: "Orang yang mengumpulkan banyak, tidak kelebihan dan orang yang mengumpulkan sedikit, tidak kekurangan."
Ketika kulihat ada perbedaan di antara pendeta “kaya dan miskin”, terjadi perpecahan di antara kaum Lewi itu sendiri dan ketidakpedulian di antara seorang dengan yang lain. Sungguh ini semua merupakan hal yang tragis. Tidak heran bila jemaat pun berlaku seperti itu. Orang dunia mengatakan “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Hal itu bukan saja berlaku bagi orangtua jasmani tetapi juga orangtua rohani (pendeta/gembala sidang). Ini merupakan tanggungjawab besar, kehidupan kita tercermin dalam kehidupan jemaat yang kita pimpin. Khotbah tentang kasih Kristus dan sesama merupakan topik bahasan yang luarbiasa, indah terdengar di telinga, sangat menjamah hati…..tapi sayangnya kebanyakan hanya sampai di situ. Bila ada tindakan itu pun biasanya hanya berdasarkan program bukan menjadi bagian hidup. Kebenaran firman Tuhan hanya menjadi pengetahuan belaka, kebenaran itu tidak memerdekakan sebab tidak dihidupi di dalam Kristus. Orang Kristen dewasa ini senang mendapatkan pengetahuan akan kebenaran, sayangnya tidak ditindaklanjuti sebagai pelaku kebenaran itu sendiri. Orang Kristen lebih suka menjadi pendengar daripada pelaku, lebih suka menjadi anggota sebuah gereja daripada menjadi murid Kristus yang setiap hari hidup bagi Tuhan Yesus. Apakah ini diakibatkan kini banyak kaum Lewi (pendeta) yang melihat bahwa “pelayanan” lebih merupakan sebagai “pekerjaan” dan bukan lagi sebagai panggilan dan pengabdian terhadap Tuhan dan umat/ sesama?
Apakah memiliki impian melihat kasih persaudaraan dalam Kristus itu nyata di tengah umat Tuhan merupakan sebuah lamunan di siang bolong saja? Ini merupakan impianku, doaku dan imanku bahwa aku akan terus berdoa, berjuang dan menghidupi apa yang kuimani. Impianku melihat saudara seiman hidup bersama dalam kesatuan, melihat perbedaan sebagai keragaman dan keunikan daripada tubuh Kristus, melihat ketimpangan sosial sebagai kesempatan untuk menyatakan kasih Kristus secara lebih nyata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar